09 September 2006

Kerugian Massal Akibat Kemacetan Lalu-Lintas (1)

Oleh: Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA

“Dari sisi pengguna jalan atau masyarakat luas, kerugian dapat berupa pemborosan BBM, waktu dari para pekerja produktif yang hilang, penyusutan nilai ekonomis kendaraan lebih cepat, efek emisi gas buang, dan sebagainya. Kerugian lainnya, misalnya tentang berkurangnya produktivitas masyarakat secara kolektif, turunnya disiplin kerja, tidak tepat waktu, kerugian pulsa telepon, dan masih banyak lainnya”
Sejak diresmikan pada April 2005, sudah dua kali ruas Jalan Tol Cipularang amblas. Terakhir, beberapa waktu lalu, bahu jalan sepanjang 50 meter amblas pada kilometer 91 sedalam 3 meter. Akibat penurunan muka jalan tersebut, kendaraan harus menurunkan kecepatannya saat melintas bekas amblasan itu. Karena, dipastikan akan terjadi penyempitan jalan. Dan otomatis, antrian pun akan terjadi akibat kemacetan lalu-lintas. Kemacetan di Jalan Tol menjadi cukup sensitif di banding jalan biasa. Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena untuk menikmati fasilitas itu dibayar khusus.
Kemacetan lalu-litas sudah menjadi keseharian dan telah menjadi masalah besar di perkotaan, hampir di seluruh dunia. Hanya, di negara yang dikelola dengan baik, kemacetan dapat diprediksi–diantisipasi–lalu diminimalisir dengan memelihara rasio yang feasible antara volume jalan terhadap okupasinya, dan sebagainya. Disadari bahwa kemacetan lalu-lintas sedikit saja pun, akan menyita biaya tidak kecil. Apalagi kemacetan hingga berjam-jam. Dengan aljabar sederhana dan asumsi yang masuk akal seorang awam, memperkirakan kerugian massal akibat kemacetan lalu-lintas tidaklah sulit.
Dari sisi pengguna jalan atau masyarakat luas, kerugian dapat berupa pemborosan BBM, waktu dari para pekerja produktif yang hilang, penyusutan nilai ekonomis kendaraan lebih cepat, efek emisi gas buang, dan sebagainya. Kerugian lainnya, misalnya tentang berkurangnya produktivitas masyarakat secara kolektif, turunnya disiplin kerja, tidak tepat waktu, kerugian pulsa telepon, dan masih banyak lainnya.
Ambil perkiraan, terdapat 12.000 unit angkutan kota, 5.000 unit angkutan niaga, dan 8.000 unit mobil pribadi, serta 20.000 unit sepeda motor yang kesemuanya setiap hari mengitari Kota Bandung. Secara rata-rata, diandaikan setiap angkot mengalami kemacetan 2 jam/hari. Angkutan niaga rata-rata mengalami kemacetan 1 jam/hari, mobil pribadi mengalami rata-rata kemacetan 30 menit/hari, dan sepeda motor mengalami 15 menit kemacetan sehari. Selanjutnya, mari kita perkirakan tingkat konsumsi BBM dalam keadaan macet, diperkirakan rata-rata 2 liter/jam/mobil, 0,5 liter/jam/motor terbuang percuma. Maka, secara kasar, kemacetan lalu-lintas di Bandung setiap hari menelan BBM 60.000 liter atau sekitar Rp280 juta (Rp8,5 miliar/bulan). Sekali lagi, angka-angka ini berdasarkan asumsi kasar.
Selanjutnya, diperkirakan 4,7 juta jiwa masyarakat dengan segala profesinya menggeliatkan kehidupan di Bandung setiap harinya. Asumsikan 3,9 juta di antaranya menjalani aktivitas konsumtif seperti pelajar, mahasiswa, dan shopping; sedangkan 800.000 orang lagi melaksanakan aktivitas produktif dalam pengertian bekerja, berwiraswasta atau pegawai negeri. Bila secara rata-rata setiap pekerja mengalami kemacetan 1 jam/hari saja, maka kehilangan jam produktif (bagi keluarga menjadi penghasilan, bagi masyarakat bangsa menjadi produktivitas nasional) 800.000 jam produktif/hari, atau sekitar 1/8 (12,5%) dari total produktivitas masyarakat Bandung, (dianggap bahwa setiap pekerja produktif melakukan aktivitas 8 jam sehari).
Selanjutnya, bila pendapatan perkapita rata-rata pekerja dianggap sekitar UMK (Upah Minimum Kota) sebesar Rp1 juta, maka dari 800.000 pekerja secara kolektif kita kehilangan Rp 100miliar/bulan atau 3,3 miliar/hari.
Berdasarkan kedua variabel itu saja kesimpulan kasar dapat diambil, bahwa sekitar Rp108 miliar/bulan harga yang harus dibayar atas kemacetan Kota Bandung. Harga ini mucul dalam bentuk berkurangnya pendapatan keluarga, dan kecilnya produktivitas masyarakat secara langsung.
Uraian kuantitaif di sini bukanlah data aktual, dan tidak melalui penelitian khusus. Sejumlah asumsi diambil dan kesimpulan kasar ditarik hanya untuk mengambarkan betapa kasat matanya kemacetan lalu-lintas menggerogoti sumber daya kita, baik menyangkut ekonomi mikro keluarga, perekonomian masyarakat, tekanan psikologis dan sebagainya.
Tambahan pula, dinamika masyarakat kota telah meningkatkan kemacetan tidak lagi linier dan mengarah pada kuadratis terhadap waktu. Artinya, makin hari, kemacetan makin bertambah parah. Kiranya solusi temporer seperti pengaturan lalu-lintas oleh polisi lalu-lintas atau pihak departemen perhubungan, rekayasa jalur, bahkan mencicil membangun fly over, sepertinya hanya solusi temporer. Perlu konsep yang lebih komprehensif berjangka panjang, lintas sektoral, dan melibatkan semua pihak. (A.01)
Penulis: Pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung. E_mail: bmamora@plasa.com

Tidak ada komentar: