14 September 2006

Good Governance, Produk Ideal Pilkada dan Otda

Oleh : Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Kabupaten Bandung, dan di berbagai daerah masih akan melaksanakan Pilkada (pemilihan langsung kepala daerah). Kontroversi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang membatalkan hasil Pilkada Depok, serta hiruk-pikuk rangkaian panjang Pilkada pada umumnya, seringkali menafikan esensinya yang utama, yakni how to produce a Good Governance.
Pilkada kiranya dapat menjadi momentum perubahan cara pandang para pemimpin, khususnya pemimpin lokal tentang pemerintahan.
Filosofi Pilkada langsung adalah kekuasaan tidaklah bersumber dari pemimpin/penguasa/pemerintah namun dari rakyat. Dan karena kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka dalam masa kepemimpinannya dituntut mengutamakan kehendak rakyat, dan mampu menjalin kerjasama dengan elemen-elemen masyarakat yang menjadi sumber legitimasi politiknya. Sedangkan salah satu model pelaksanaan kekuasaan yang bertanggung jawab kepada masyarakat seperti itu adalah good governance.
Good governance atau tata kepemerintahan yang baik, sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh arus demokratisasi yang melanda dunia, yang berefek pada timbulnya kesadaran akan keterbatasan kelembagaan formal pemerintahan dalam menjamin pemenuhan tuntutan masyarakat yang kian kompleks dan kritis. Pada intinya perspektif ini menekankan perubahan atas paradigma pembangunan yang semula lebih berpusat pada government (badan-badan yang menjalankan pemerintahan) beralih ke governance(proses interaksi kepemerintahan yang melibatkan unsur-unsur di luar struktur pemerintahan secara sinergis).
Dengan demikian good governance merujuk pada suatu sistem pengelolaan pemerintahan yang berbasis pada masyarakat (demokrasi) dimana negara atau pemerintah berbagi kekuasaan dengan masyarakat, bukan mengakumulasi kekuasaan pada dirinya sendiri secara sentralistik dan otoritaritarian. Secara spesifik sejumlah karakteristik dalam perwujudan good governance, antara lain: (1) Partisipasi Masyarakat, (2) Tegaknya Supremasi Hukum (3) Transparansi, (4) Peduli pada Stakeholder, (5) Berorientasi pada Konsensus, (6) Kesetaraan, (7) Efektifitas dan Efisiensi, (8) Akuntabilitas, dan (9)Visi Strategis. Keseluruhan karakteristik tersebutlah yang merupakan basis penilaian dalam menakar penciptaan suatu tata kepemerintahan yang baik.
Jelas bahwa good governance berhubungan dengan demokrasi, antara lain Pilkada. Maka upaya membangun good governance berarti membangun suatu bentuk interaksi yang terbuka dan saling menghargai secara timbal balik antara unsur kelembagaan pemerintah dengan unsur-unsur kelembagaan masyarakat di luarnya.
***
Dalam perspektif otonomi daerah, dengan penciptaan good governance maka tujuan fundamental yang hendak dicapai adalah membangun demokratisasi hubungan pemerintah dan masyarakat pada aras lokal. Salah satu kerangka arah dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah bahwa pelaksanaan pemerintahan yang dibangun dan berkembang di daerah harus melibatkan dan memperkuat munculnya kontrol politik dari masyarakat.

Berkaitan kontrol politik dalam demokrasi, di samping melalui kelembagaan civil society, sebenarnya terdapat sebuah pilar kelembagaan formal dalam struktur negara yang seharusnya berfungsi kritis, yaitu: lembaga legislatif (DPR/DPRD). Dari segi konstitusional dan institusional memang fungsi kontrol adalah hal yang sudah seharusnya dimainkan oleh lembaga legislatif terhadap eksekutif, berkaitan dengan berbagai perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaannya, termasuk peraturan daerah yang ditetapkan bersama oleh legislatif dan eksekutif sendiri.
Namun kenyataannya, peranan lembaga legislatif lokal tidak sepenuhnya dapat diharapkan dalam membangun fungsi kontrol politik yang efektif. Timbulnya kasus-kasus korupsi di kalangan anggota legislatif memperkuat anggapan tentang lemahnya peranan yang mungkin dimainkan oleh DPRD dalam membangun good governance. Apalagi dalam banyak kasus korupsi yang terungkap di daerah yang secara nyata melibatkan konspirasi sistematis antara unsur-unsur pejabat eksekutif dengan legilatif (DPRD).
Karena itu, peranan civil society secara partisipatif sebagai gerakan kontrol politik penting untuk menegaskan adanya fungsi kritis yang mungkin dilakukan masyarakat secara langsung dalam proses penyelenggaranan pemerintahan lokal. Perwujudan gerakan pilar ini antara lain melalui munculnya Ornop (Organisasi Non-Pemerintah) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) beserta forum-forum kewargaan lainnya.
Kiranya pelaksanaan Pilkada hingga hasil akhirnya yang melahirkan paket kepala daerah terpilih, dapat menjadi momentum pendidikan politik tentang good governance. Khususnya buat para kandidat Pilkada dan kepala daerah yang telah berhasil terpilih, dalam mempengaruhi sikap/opini masyarakat dapat mengangkat isu ini dalam program kerja mereka, untuk menunjukkan kejelasan paradigma berpikir, kemauan dan janji dalam menciptakan perubahan mendasar dalam kerangka pengelolaan pemerintahan lokal yang berbasis partisipasi masyarakat. (A1) (08 Agustus 2005)

Tidak ada komentar: