09 September 2006

KERUGIAN MASSAL AKIBAT KEMACETAN LALU-LINTAS (2)

A predictible facts without solution
Oleh Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Kemacetan lalu-lintas di jalan raya terjadi karena ruas jalan sudah tidak mampu menampung luapan arus kendaraan yang datang secara lancar. Hal ini terjadi, juga karena pengaruh hambatan samping yang tinggi, sehingga mengakibatkan penyempitan ruas jalan, seperti: parkir di badan jalan, berjualan di trotoar dan badan jalan, pangkalan beca dan angkot, kegiatan sosial yang menggunakan badan jalan, berjalan di badan jalan dan menyeberang jalan. Selain itu, kemacetan juga sering terjadi akibat manajemen persimpangan yang kurang tepat, ditambah lagi tingginya aksesibilitas kegunaan lahan di sekitar sisi jalan tersebut.

Kemacetan lalu-lintas kerap menjadi topik seminar, dibicarakan, dikaji/diteliti oleh berbagai pakar, bahkan sering menjadi obrolan masyarakat berbagai golongan di berbagai tempat. Bagai anjing menggonggong kafilah berlalu; pelbagai seminar berakhir, penelitian terlaksana, dan pembicaraan tidak habis-habisnya mengenai kemacetan lalu-lintas, tetap saja implementasi kebijakan bagai panggang jauh dari api. Interseksi keduanya bagai air dan minyak.
Memang, kemacetan lalu-lintas di perkotaan tidak dapat dihindarkan, namun bukan tidak bisa diminimalkan. Seperti yang terjadi sekarang, setiap hari terjadi “pemandangan yang indah” atau “pameran barisan berbagai jenis kendaraan yang sedang antri” di setiap ruas jalan di kota-kota besar. Bagaimana sebenarnya arahan kebijakan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) yang ada?
Kemacetan lalu-lintas (congestion) di jalan raya terjadi karena ruas jalan tidak mampu menampung luapan arus kendaraan yang datang secara lancar. Hal ini terjadi, juga karena pengaruh hambatan/gangguan samping (side friction) yang tinggi, sehingga mengakibatkan penyempitan ruas jalan (bottleneck), seperti: parkir di badan jalan (on road parking), berjualan/pasar di trotoar dan badan jalan, pangkalan beca dan angkot, kegiatan sosial yang menggunakan badan jalan (pesta, dsb) dan pedestrian (berjalan di badan jalan dan menyeberang jalan). Selain itu, kemacetan juga sering terjadi akibat manajemen persimpangan (dengan atau tanpa lampu) yang kurang tepat, ditambah lagi tingginya aksesibilitas kegunaan lahan (land use) di sekitar sisi jalan tersebut.
Kemacetan lalu-lintas dan kecelakaan lalu-lintas yang cukup berbahaya juga sering terjadi akibat perilaku angkutan umum kota (angkot) yang sering nyelonong dan tiba-tiba berhenti di badan jalan untuk menaikkan/menurunkan penumpang dengan alasan “kejar setoran”. Demikian halnya dengan pengemudi mobil umum yang sering menguasai jalan, enggan rapat kiri - ogah rapat kanan, memutar arah sembarangan, dlsb. Ditambah lagi dengan ledakan sepeda motor yang begitu drastis pertambahannya akhir-akhir ini, yang sering zig-zag menyalib seolah tidak peduli bahaya. Khusus perilaku “full-freedom” kebanyakan pengendara sepeda motor memang menjadi salah satu kontributor terbesar kemacetan lalu-lintas akhir-akhir ini. Jadi, kemacetan lalu-lintas perkotaan terjadi bukan saja karena rasio perkembangan prasarana jalan dengan pertambahan kendaraan yang tidak seimbang. Tingkat kedisiplinan pengendara dan pengguna jalan yang kini makin rendah (sudah kurang santun), juga menjadi biang kemacetan.
Bila ditilik lebih jauh, variabel-variabel penyebab kemacetan lalu-lintas tersebut, tidak terjadi secara spontan sim salabim di luar pengetahuan yang berwenang. Tidak juga logis bila disebut anggaran tidak cukup. Pertama, bukankah pertambahan kendraan jenis apa pun tercatat dengan baik ketika di-On The Road (OTR)-kan? Pendapatan OTR semestinya berkaitan dengan pendanaan volume jalan, perawatannya serta untuk traffic management secara berbanding lurus. Kedua, perilaku umum dalam berlalu-lintas memang sangat dinamis dan mengarah kepada chaos; tetapi juga hal itu juga cukup kasat mata. Artinya, variabel-variabel biang kemacetan lalu-lintas dan relatif predictible.
Banyak pendapat diperlukannya grand design ulang, atau setidaknya reengineering RTRWK. Praktisnya, menurut saya, bagaimana meredistribusi volume jalan terhadap ruang dan waktu. Dengan demikian dapat diperoleh debit arus lalu lintas mencapai angka rata-rata sederhana feasible (sebagai fungsi ruang dan waktu). Beberapa contoh yang bisa dilakukan dalam kerangka ini : relokasi, reskeduling, ekspansi.
Sejumlah pabrik di Kota Bandung misalnya, sudah selayaknya direlokasi ke lahan baru. Tentu, lahan baru tersebut harus memenuhi syarat sesuai ketentuan, serta kelayakan pemukiman para pekerja yang jumlahnya ribuan ikut terboyong. Bila diperkirakan terdapat 50 pabrik dengan masing-masing 2.000 pekerja, maka 100 ribu tenaga kerja telah turut direlokasi. Kiranya masih banyak lahan di pinggiran Bandung yang memenuhi syarat sebagai peruntukkan industri. Bisa kita lihat titik-titik kemacetan terjadi di kawasan pabrik JL. Kiaracondong, JL.Sukarno Hatta, dan di berbagai lokasi pabrik pada jam masuk dan keluar pekerja. Mengapa dibiarkan demikian? Memang, sejumlah contsraint menghadang, misalnya keberatan pihak pekerja dan reinvestasi pengusaha, namun dengan relokasi bukan tidak ada benefit ekonomis bagi kedua belah pihak. Bila perlu, pemerintah dapat mendorong proses relokasi melalui berbagai insentif semacam tax holliday. Seattle menjadi kota bisnis di AS; Silicon Valley sebagai pusat industri semikonduktor; Hollywood sebagai pusat entertain; Las Vegas sebagai sentral judi dan hiburan; semua itu bukan kebetulan dan tidak terjadi secara alamiah. Semua adalah hasil rekayasa dan rekayasa ulang berkali-kali untuk kemudian diadaptasi semua pihak yang berpentingan.
Masih mengenai relokasi, negara kita sebenarnya berpengalaman dengan program transmigrasi, baik sebagai program pemerintah maupun swakarsa. Saatnya masyarakat umum scara swakarsa perlu merelokasi domisili untuk didekatkan dengan pusat kegiatan keluarga. Mengapa harus tinggal di daerah Bandung Utara padahal kegiatan anggota keluarga terkonsentrasi di Bandung Selatan? Boros waktu, tenaga dan biaya terbuang percuma di jalan. Konsep relokasi swakarsa sudah lama dan umum berlaku di negara maju. Bahkan, Bisnis Konsultan Relokasi (bisa dirangkap makelar properti) di AS berjalan dan profitable. Dasar pertimbangannya adalah efisiensi sumber daya pribadi dan keluarga, yang dapat dihitung dengan matematika sederhana.
Misalkan ada 4 anggota keluarga harus dua kali naik angkot ke tempat kegiatannya, misalnya bekerja dan bersekolah. Anggap sekali naik angkot butuh ongkos Rp 2.000,- dan 30 menit waktu sekali naik angkot, serta waktu tunggu 5 menit. Maka dalam 1 hari, keluarga ini menghabiskan ongkos Rp 32.000,-/hari atau sekitar Rp 11 juta/tahun. Setiap anggota keluarga menghabiskan waktu rata-rata 2,25 jam/hari di jalan, atau sekitar 2 bulan dalam 3 tahun berada di jalan. Praktis, waktu yang dihabiskan di jalan tak akan produktif.
Konsep reskeduling, sederhananya adalah bagaimana meredistribusi kegiatan masayarakat perkotaan secara agak merata dari pagi sampai malam. Misalnya, sejumlah sekolah mulai belajar jam 07.00, sedang sejumlah sekolah lain masuk jam 09.00. Kantor pemerintah misalnya buka pada jam 08.00, sedang kantor swasta dan pertokoan buka jam 10.00, dan sebagainya. Intinya, perlu diatur jadwal umum untuk menghindari kemacetan pada jam-jam tertentu.
Bagaimana pun pertumbuhan gradual (melebar ke pinggiran) kota tak terhindarkan. Untuk itu, kiranya jangan dibiarkan ekspansi tumbuh sporadis atas inisiatif swasta atau personal. Hal ini perlu untuk menghindari keputusan-keputusan yang berorientasi sempit dan jangka pendek dari para pengembang, mengalahkan kepentingan umum untuk jangka panjang. Pemerintah dapat memulai ekspasi melalui pembukaan infrastruktur baru di lingkar luar kota, misalnya jalan-jalan tembus yang layak. Hal ini akan diikuti oleh pengembang, masyarakat umum dan para pengusaha industri, atau sekolah. Apalagi disamping infrastruktur transportasi telah dipersiapkan, diberikan pula insentif tertentu untuk merangsang anino relokasi ke lingkar luar kota. Secara bertahap, pusat-pusat kegiatan yang hampir selalu mengarah ke pusat kota mengalir ke lingkar luar kota.
Memang cukup kontradiktif bila masih diberikan sejumlah ijin pembangunan mall dan pusat perbelanjaan pada ring pusat kota. Tidak dapat disangkal betapa macetnya lalu-lintas di daerah Bandung Timur akibat kehadiran Bandung Super Mall, betapa macetnya kitaran JL. Merdeka atas kehadiran BIP (Bandung Indah Plasa) dan BEC (Bandung Electronic Center), dan demikian halnya di sejumlah tempat lain. Cukuplah.
Kiranya harus disadari sebaik-baiknya bahwa persoalan kemacetan lalu-lintas yang dialami hampir semua warga kota dapat berakibat destruktif terhadap kehidupan bermasyarakat. Bila tidak terasa hasil upaya nyata dalam mengatasi persoalan ini, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan kepada pemerintahnya, bisa terjadi degradasi perilaku sosial yang tidak diinginkan, dan sangat jelas akan terjadi kemerosotan produktivitas dan kreativitas kolektif masayarat bangsa. (A01)
Bernard Simamora, pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung. E_mail: bmamora@plasa.com T.(022)70657510

Tidak ada komentar: