14 September 2006

ASPIRASI RAKYAT, UNTUK KONSUMSI POLITIK ATAU POLICY?

Oleh : Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Berbicara tentang aspirasi dalam demokrasi perwakilan, setidaknya melibatkan tiga pihak; pemilik aspirasi, penyerap dan pembawa/penyampai aspirasi, dan penerima akhir aspirasi (end user). Andaikan kembali ke titik nol, aspirasi paling awal dibutuhkan sebagai masukan untuk menyusun kebijakan (policy), yang bila mengakomodir aspirasi yang berkembang, kita namakan kebijakan yang aspiratif.
Tetapi aspirasi tidaklah statis. Relatif terhadap dinamika implementasi kebijakan aspiratif yang telah dibuat, aspirasi juga dinamis. Pada tahap ini, aspirasi berkembang, lebih dari sekadar bahan pembuatan kebijakan, tetapi juga sekaligus menjadi feed back (umpan balik). Kebijakan (misalnya sudah aspiratif) yang diambil, sedang atau telah diimplementasikan belum tentu konsisten aspiratif.
Sebagai stake holder utama bangsa, rakyatlah pemilik aspirasi, dan untuk mereka kebijakan-kebijakan para pemimpin bangsa dibuat, bukan untuk para pejabat – tentu saja. Disisi lain, dalam demokrasi perwakilan, aspirasi tertentu dibawa dan disampaikan oleh wakil rakyat, atau anggota/badan legislatif, yang di negara kita diperankan DPR, DPD dan DPRD.
Selanjutnya, badan legislatif ini menjadi lawan main Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati (eksekutif) dalam pembuatan serta implementasi kebijakan (yang seharusnya, dengan demikian “dijamin aspiratif”). Paling tidak, eksekutif (end user aspirasi) cenderung akan mencari cara termudah mengelola bangsa, sedang legislatif di sisi sebaliknya yang seharusnya merasa ada jutaan gerbong berisi ratusan juta aspirasi untuk dipikul eksekutif.
Bila demikian, menjadi sangat relevan suatu situasi kerja di dalam mengurus negara/daerah, dimana legislatif secara dominan beroposisi dengan eksekutif. Disamping itu, menjadi sangat penting agar kelihaian, kepakaran, penguasaan teknis, dan profesionalisme anggota Dewan (DPR, DPD, DPRD) setingkat dengan skill pejabat negara. Sebelum berkuasa, PDIP (dulu PDI) dipelopori tokoh PDI Kwik Kian Gie pernah membentuk apa yang disebutnya sebagai Kabinet Bayangan, yang dalam pemahaman sederhana, ditugasi partai membayang-banyangi eksekutif. Kabinet Bayangan menjadi sesuatu yang revolusioner saat itu, dimana Soeharto masih sangat-sangat kuat. Jangankan membayang-bayangi, membayangkan Soeharto saja bisa tidak selamat kala itu.
Mengapa saat ini praktis tidak ada partai politik yang melanjutkan ide sejenis. Bahkan seharusnya, seorang anggota legislatif harus memiliki miniatur kabinet berupa tim ahli. Dengan demikian aspirasi yang diemban anggota legislatif tidak mentah-mentah dibawa ke meja pembuatan kebijakan.
Sabtu (11/6), presiden SBY membuka jalur pengaduan melalui SMS langsung ke nomor Handphone RI-1 pilihan rakyat itu. Apakah begitu banyak saluran aspirasi yang mampet saat ini sehingga RI-1 harus membuka jalur pengaduan via SMS di HP sendiri? Jelas! Boro-boro membawa aspirasi rakyat, bukankah anggota legislatif kita sibuk menelan kue APBN/APBD? Sebutlah APBD-Gate di Garut ketua DPRD, APBD-Gate Jabar yang melibatkan Eka Santosa, ketua DPRD Jabar saat itu. Belum lagi kasus-kasus pemboboloan APBN.
Jelas, saluran aspirasi rakyat telah/sedang/tadinya macet, kalau tidak disebut macet total. Jika Iwan Falls menyebut dewan legislatif sebagai tukang stempel, tukang ngantuk dan hanya bisa duduk manis ketika sidang soal rakyat, kini lebih parah lagi: tukang makan uang rakyat!
Di satu sisi, langkah SBY ada benarnya membuka jalur pengaduan lewat SMS. Meski hal itu dinilai berbagai pihak meniupkan angin sorga dan cenderung cari sensasi, sedikit masih dapat dibenarkan dari pada tidak sama sekali. Tetapi, meski pun langkah spontan SBY yang ini ada benarnya, tetap saja kental muatan politis, walaupun dicoba sebagai bahan pembuatan policy. Jika sebagai inputan bagi kebijakan, dan bukan unsur politis murni, seyogianya langkah RI-1 itu lebih dahulu dipersiapkan sistem, follow up, dan parameter bahwa pengaduan yang dikirim lewat SMS itu ada hasilnya. Alih-alih sebagai konsumsi policy langkah itu jelas kental politik.
Dengan modus yang sama dengan langkah spontan SBY tetapi bentuknya berbeda tengah berlangsung dimana-mana di seantero nusantara oleh para pejabat publik kita. Dalam Pilkada misalnya, sejumlah acara sosial dimuati dan dimanfaatkan para Calon Kepala Daerah untuk curi start kampanye. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana sejumlah Calon Kepala Daerah di beberapa daerah menerbitkan Al-Quran dengan sampul foto diri.
Budaya membohongi publik masih juga belum pudar dalam tingkah polah pejabat publik kita. Pada hal, telah banyak bukti bahwa ternyata kebohongan publik sangat cepat terbongkar. Rupanya para pejabat secara umum belum mengalami pergerseran paradigma, masih tetap mengganggap masyarakat sebagai kumpulan orang bodoh. Dan barangkali, mengapa pembangunan pendidikan begitu lamban dan berjalan mundur, mungkin adalah kesengajaan. Betapa tidak, pejabat yang cenderung mempertahankan posisinya, mungkin membutuhkan rakyat sebagai kumpulan orang bodoh. Sehingga bila saatnya sebuah pemikiran dan trik spontan pejabat, rakyat tidak bisa membedakan apakah itu konsumsi politik atau policy (A1) (14 Juni 2005)

Good Governance, Produk Ideal Pilkada dan Otda

Oleh : Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Kabupaten Bandung, dan di berbagai daerah masih akan melaksanakan Pilkada (pemilihan langsung kepala daerah). Kontroversi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang membatalkan hasil Pilkada Depok, serta hiruk-pikuk rangkaian panjang Pilkada pada umumnya, seringkali menafikan esensinya yang utama, yakni how to produce a Good Governance.
Pilkada kiranya dapat menjadi momentum perubahan cara pandang para pemimpin, khususnya pemimpin lokal tentang pemerintahan.
Filosofi Pilkada langsung adalah kekuasaan tidaklah bersumber dari pemimpin/penguasa/pemerintah namun dari rakyat. Dan karena kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka dalam masa kepemimpinannya dituntut mengutamakan kehendak rakyat, dan mampu menjalin kerjasama dengan elemen-elemen masyarakat yang menjadi sumber legitimasi politiknya. Sedangkan salah satu model pelaksanaan kekuasaan yang bertanggung jawab kepada masyarakat seperti itu adalah good governance.
Good governance atau tata kepemerintahan yang baik, sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh arus demokratisasi yang melanda dunia, yang berefek pada timbulnya kesadaran akan keterbatasan kelembagaan formal pemerintahan dalam menjamin pemenuhan tuntutan masyarakat yang kian kompleks dan kritis. Pada intinya perspektif ini menekankan perubahan atas paradigma pembangunan yang semula lebih berpusat pada government (badan-badan yang menjalankan pemerintahan) beralih ke governance(proses interaksi kepemerintahan yang melibatkan unsur-unsur di luar struktur pemerintahan secara sinergis).
Dengan demikian good governance merujuk pada suatu sistem pengelolaan pemerintahan yang berbasis pada masyarakat (demokrasi) dimana negara atau pemerintah berbagi kekuasaan dengan masyarakat, bukan mengakumulasi kekuasaan pada dirinya sendiri secara sentralistik dan otoritaritarian. Secara spesifik sejumlah karakteristik dalam perwujudan good governance, antara lain: (1) Partisipasi Masyarakat, (2) Tegaknya Supremasi Hukum (3) Transparansi, (4) Peduli pada Stakeholder, (5) Berorientasi pada Konsensus, (6) Kesetaraan, (7) Efektifitas dan Efisiensi, (8) Akuntabilitas, dan (9)Visi Strategis. Keseluruhan karakteristik tersebutlah yang merupakan basis penilaian dalam menakar penciptaan suatu tata kepemerintahan yang baik.
Jelas bahwa good governance berhubungan dengan demokrasi, antara lain Pilkada. Maka upaya membangun good governance berarti membangun suatu bentuk interaksi yang terbuka dan saling menghargai secara timbal balik antara unsur kelembagaan pemerintah dengan unsur-unsur kelembagaan masyarakat di luarnya.
***
Dalam perspektif otonomi daerah, dengan penciptaan good governance maka tujuan fundamental yang hendak dicapai adalah membangun demokratisasi hubungan pemerintah dan masyarakat pada aras lokal. Salah satu kerangka arah dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah bahwa pelaksanaan pemerintahan yang dibangun dan berkembang di daerah harus melibatkan dan memperkuat munculnya kontrol politik dari masyarakat.

Berkaitan kontrol politik dalam demokrasi, di samping melalui kelembagaan civil society, sebenarnya terdapat sebuah pilar kelembagaan formal dalam struktur negara yang seharusnya berfungsi kritis, yaitu: lembaga legislatif (DPR/DPRD). Dari segi konstitusional dan institusional memang fungsi kontrol adalah hal yang sudah seharusnya dimainkan oleh lembaga legislatif terhadap eksekutif, berkaitan dengan berbagai perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaannya, termasuk peraturan daerah yang ditetapkan bersama oleh legislatif dan eksekutif sendiri.
Namun kenyataannya, peranan lembaga legislatif lokal tidak sepenuhnya dapat diharapkan dalam membangun fungsi kontrol politik yang efektif. Timbulnya kasus-kasus korupsi di kalangan anggota legislatif memperkuat anggapan tentang lemahnya peranan yang mungkin dimainkan oleh DPRD dalam membangun good governance. Apalagi dalam banyak kasus korupsi yang terungkap di daerah yang secara nyata melibatkan konspirasi sistematis antara unsur-unsur pejabat eksekutif dengan legilatif (DPRD).
Karena itu, peranan civil society secara partisipatif sebagai gerakan kontrol politik penting untuk menegaskan adanya fungsi kritis yang mungkin dilakukan masyarakat secara langsung dalam proses penyelenggaranan pemerintahan lokal. Perwujudan gerakan pilar ini antara lain melalui munculnya Ornop (Organisasi Non-Pemerintah) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) beserta forum-forum kewargaan lainnya.
Kiranya pelaksanaan Pilkada hingga hasil akhirnya yang melahirkan paket kepala daerah terpilih, dapat menjadi momentum pendidikan politik tentang good governance. Khususnya buat para kandidat Pilkada dan kepala daerah yang telah berhasil terpilih, dalam mempengaruhi sikap/opini masyarakat dapat mengangkat isu ini dalam program kerja mereka, untuk menunjukkan kejelasan paradigma berpikir, kemauan dan janji dalam menciptakan perubahan mendasar dalam kerangka pengelolaan pemerintahan lokal yang berbasis partisipasi masyarakat. (A1) (08 Agustus 2005)

Pendidikan Dasar Gratis atau Kompensasi BBM Rp100.000?

Oleh : Bernard Simamora
Pemerintah terkesan terburu-buru dalam memutuskan pemberian kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) Rp100.000,- untuk setiap keluarga miskin yang jumlahnya diperkirakan 15.5 juta keluarga. Tekanan defisit APBN 2005 barangkali menjadi pemicu hal ini karena hanya tinggal 3 bulan. Padahal, jika melalui perumusan yang lebih matang atau jauh-jauh hari – pada saat menetapkan APBNP dimulai kalkukasi yang lebih detail, maka kiranya Pendidikan Dasar Gratis merupakan opsi paling tepat.
Tulisan ini tidak bermaksud menyesali keputusan pemerintah mengenai kompensasi BBM akibat dari langkah penaikan harga BBM, tetapi lebih merupakan koreksi untuk masa yang akan datang.
Penyelenggaran Pendidikan Dasar atau bahkan Pendidikan Menengah secara Gratis tidaklah serumit pemberian kompensasi BBM yang ternyata cukup alot saat-saat ini. Permasalahan menggratiskan Pendidikan Dasar dan Menengah dapat memberikan gambaran yang cukup realistis melalui penggantian Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi sekitar 25 juta siswa SD, 7 juta SMP, dan 3 juta siswa SMA/SMK. Asumsikan setiap siswa dibebaskan dari SPP sebesar Rp300.000,-/tahun. Di samping itu, kesejahteraan untuk 2 juta guru diberikan tambahan rata-rata Rp3000.000,-/tahun di luar gaji PNS atau gaji dari yayasan (untuk sekolah swasta). Untuk menggantikan SPP, satu tahun negara perlu mengeluarkan Rp10,5 triliun dan untuk kesejahteraan guru diperlukan Rp6 triliun. Secara kasar, 16,5 triliun tersebut sudah cukup untuk menyelenggarakan pendidikan gratis untuk SD, SMP, dan SMA selama 1 tahun.
Cukup mengenakkan telinga ketika Menko Perekonomian Aburizal Bakrie menilai Indonesia harus memilih antara menaikkan BBM, lalu sekolah dan pelayanan kesehatan gratis atau membakar Rp60 triliun hingga 2006 karena pemerintah menyubsidi BBM. Sayangnya, opsi yang ditetapkan adalah memberikan uang tunai kepada keluarga miskin yang merupakan upaya pemiskinan jangka panjang juga.
Walau awalnya pasti menemui masalah, tetapi momen cukup tepat. Sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan. Terlebih lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas.
Akan tetapi, meski sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Tanpa perlu mempersoalkan terminologi wajib belajar, ambil saja bahasa yang lebih bernuansa populis tetapi realistis, Pendidikan Dasar dan Menengah secara Gratis.
Bagi pemerintah, Pendidikan Gratis terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan Pendidikan Gratis. Pendidikan Gratis bisa terimplementasi dalam tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya tentu akan berbeda-beda.
Mengapa pendidikan gratis? Bagi Indonesia, jaminan akses terhadap pendidikan sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Selain sebagai substitusi kompensasi BBM, pembiayaan pendidikan gratis dapat juga disinergikan dengan pendanaan dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar, bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari bahwa pendidikan itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan, apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju? Di samping itu, jika sebagian masyarakat belum sepakat menggratiskan pendidikan, pemerintah harus mampu menjelaskannya dan mengambil resiko. Resiko kebijakan tidak populis seperti ini berimplikasi lebih positif berjangka panjang dibanding menaikkan harga BBM lalu memberikan dana subsidi tunai kepada rakyat miskin sebagai kompensasi.
Mempropagandakan istilah Keluarga Miskin saja sudah merupakan upaya pemiskinan mental di samping implikasi sekonomis secara makro. Akan tetapi, mengusung istilah Pendidikan Gratis merupakan proses pengayaan masyarakat dengan visi, semangat hidup, dan peningkatan harkat yang lebih berkelas.
Bernard Simamora, praktisi pendidikan di Bandung.

11 September 2006

Demo Buruh dan Iklim Investasi

Oleh : Bernard Simamora
Demontrasi buruh justru tidak mencapai puncaknya pada hari buruh internasional, may day tanggal 1 Mei lalu. Demo memuncak dan menjurus anarkis esok harinya, yang mencoreng inti perjuangan buruh itu sendiri. Isu kini berbelok (atau dibelokkan) kepada ketidakmurnian perjuangan buruh, ditunggangi partai yang kalah Pemilu. Respon pemerintah justru dengan kacamata politik. Tidak mau disalahkan, dicarikan kambing hitam. Memang, teknik pengalihan perhatian menjadi keahlian khusus dari tim rezim saat ini.
Sungguh, sejak isu revisi UU 13/2003, respon buruh, respon pengusaha, pertemuan tripartit, serta statemen-statemen berikutnya dari para pejabat, penanganan aparat atas demo anarkis; bila diintegralkan satu sama lain justru menjauhkan panggang dari api. Arang hangus, besi tak ngumpul. Presiden SBY sendiri mengatakan bahwa UU 13/2003 dalam status Quo, sedang menurut Menaker UU 13/2003 tetap dikaji oleh 5 Universitas. Ungkapan Menaker ini diperkuat Wapres, bahwa UU 13/2003 tetap akan dikaji ulang, apa pun yang dilakukan buruh. Sebagaimana Tajuk Pelita Indonesia dua minggu lalu, hanyalah energi negatif merevisi UU 13/2003. Sia-sia, dan malah kerugian nasional dalam berbagai hal.
Skenario dari semua ini diawali dari niat pemerintah untuk membangun iklim investasi yang kondusif. Berhubung skenario tak lengkap, pemerintah tidak mampu memprediksi yang predictible, wrong (bad) calculated, wrong (bad) response, wrong follow up, buntutnya iklim investasi memburuk dibanding sebelum isu revisi UU 13/2003 dan menjauhkan investor dari negeri ini. Menperindag Fahmi Idris mengatakan, akibat dari demo buruh pada 1-2 Mei 2006 saja pendapatan industri yang hilang sekitar Rp 800 milyar. Mana yang kondusif?
Logika pemerintah terlalu sederhana. Pemerintah berkepentingan (dengan niat mengurangi pengangguran) berencana mengajukan revisi UU 13/2003 ke DPR. Dengan demikian, pertama, production cost jangka pendek dan jangka panjang bagi pengusaha diturunkan, margin laba tinggi, dan resiko minim. Kedua, dengan sistem ketenagakerjaan outsourcing sejumlah perusahaan outsourcing menjadi sah, dan lagi, pengusaha dimudahkan memperoleh tenaga kerja murah-meriah. Dengan itu, para pengusaha, khususnya dari luar negeri mabuk kepayang untuk menanam modal di bumi Indonesia. Harapannya.
Logika linier berikutnya dari pemerintah mudah ditebak, ibarat sinetron dengan produser Punjabi. Dengan masuknya investor akan menyerap lebih banyak tenaga kerja, serta pendapatan dari pajak terdongkrak. Diharapkan juga produk yang dihasilkan investor yang mabuk kepayang itu akan menjadi komoditas ekspor, sehingga mampu menghasilkan devisa. Semua itu bisa diklaim dengan sangat baik sebagai upaya menyejahterakan rakyat. Tambahan lagi, beberapa pejabat tinggi negara ini yang memang (mantan) saudagar, yang cenderung berparadigma entrepreneur, yang bagaimana pun, secara alamiah akan memandang buruh sebagai salah satu komponen produksi. Bedanya, buruh bernyawa sedang komponen produksi lain benda mati.
Sayangnya logika buruh tidak bisa disederhanakan sesederhana logika pemerintah. Pasalnya, bagi buruh ini soal perut, soal masa depan yang tidak pasti, soal tidak adanya daya beli, dan soal pengebirian harkat dan martabat sebagai kaum pekerja yang menghidupi bangsa ini langsung-tidak langsung lewat efek domino (multiplier effect). Sebut bahwa buruh murah akan memancing investor. Tetapi, bukan satu-satunya pancing. Debirokratisasi perijinan, one stop service, shot time delivery service, Tax Holliday, bebas pungutan liar (amplop, uang minum, rokok, jatah preman, dlsb) serta kombinasinya masih sangat realible untuk menarik investor. Heran, buruh dulu yang diobok-obok.
Khusus mengenai outsourcing, memang dilematis pada era global. Tenaga kerja (naker) yang bakal terserap perusahaan outsourcing pasti lebih sedikit karena sifatnya sharing ke beanyak perusahaan, sementara tenaga kerja yang masih menganggur cukup besar. Naker outsourcing juga akan menggerogoti pekerjaan buruh yang ada sekarang yang apabila akhirnya mengalami PHK, hak-haknya akan terkebiri seandainya UU 13/2003 jadi direvisi. Selanjutnya, hak-hak naker outsourcing (baik yang sebelumnya menganggur, maupun yang PHK lalu menjadi naker outsourcing) terkebiri juga seandainya UU 13/2003 jadi direvisi. Bagaimana pun, outsourcing menyakitkan bagi buruh.
Di sisi lain, sistem ketenagakerjaan outsourcing telah menjadi trend dalam era global, yang memang melicinkan pengusaha untuk meminimalkan biaya buruh, dan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor, khususnya investor multinasional. Masalahnya, mana yang harus didahulukan, mengorbankan buruh yang ada atau membuka lapangan kerja dulu seluas-luasnya? Bagaimana perhitungannya?. Bila lapangan kerja dibuka seluas-luasnya tetapi kehidupan buruh sehari-hari tetap tidak layak, dan tidak ada jaminan masa depannya, apa gunanya? Negara seharusnya memberi jaminan pada warganya untuk dapat hidup sejahtera.
Adalah kenyataan bahwa pemerintah sekarang ini bekerja tanpa arah yang jelas. Dalam pemerintahan Soeharto ada Repelita, ada PJPT, dan sebagainya. Pada saat Megawati menjadi presiden, ada Propenas. Pada pemerintahan sekarang, apa saja goal settingnya? Mana cetak birunya, khususnya dalam pembangunan ekonomi untuk memulihkan keterpurukan?. Menekan biaya buruh hanya satu dari ribuan komponen yang bisa diprogramkan untuk recovery ekonomi bangsa ini. Persoalannya, what the government can do? (A01) (Mei 2006)

Energi Negatif Merevisi UU 13/2003

oleh : Bernard Simamora
Ngotot merevisi Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah akan memulai pertemuan tripartit (tiga pihak) untuk membahas draf. Pertemuan itu akan dimulai 12 April 2006 mendatang melibatkan pemerintah, serikat pekerja dan buruh, serta asosiasi pengusaha. Pemerintah tetap memandang perlu merevisi UU Ketenagakerjaan itu untuk membangun iklim investasi dan membuka lapangan kerja baru, bukan untuk menyengsarakan pekerja.
Dasarnya, menurut pemerintah, tingkat pengangguran yang sudah cukup tinggi seperti sekarang, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 10,8 juta akan menjadi snow ball atau bola salju kehidupan sosial. Untuk itu, investor diharapkan banyak masuk dan lapangan kerja semakin terbuka.
Revisi UU mencakup tentang masalah pengangkatan pekerja sebagai pekerja tetap/kontrak, tentang pesangon, dan outsourcing. Dan semua itu dimaksudkan untuk mewujudkan hubungan industrial yang positif win-win solution.
Harus diakui bahwa sesuai tujuan revisi untuk membangun iklim investasi yang dipopuliskan sebagai semangat membuat kepastian hukum bagi industrial yang kondusif di negara ini, bagaimana pun pasti melemahkan posisi pekerja.
Unsur-unsur yang diperlukan dalam membangun iklim investasi seyogianya tidak harus mengerucut menjadi masalah take home pay pekerja. Justru yang sering menjadi kendala masuknya investasi adalah masalah keamanan dalam negeri, masalah perijinan, pungutan liar, serta bentuk-bentuk ekonomi biaya tinggi lainnya.
Persoalan menjadi demikian rumit sejak rencana revisi UU 13/2003, oleh karena ditengah krisis ekonomi, yang seharusnya pekerja dikondisikan makin berdaya beli, justru hak-haknya dikebiri. Tambahan lagi, faktor-faktor lain seperti disebutkan selain ketenagakerjaan hampir tidak ada yang dibenahi secara signifikan. Barangkali malah mentalitas aparat pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan masuknya investasi, yang harus dibenahi secara revolusioner, alih-alih ketenagakerjaan.
Bila dilihat secara proritas, mentalitas aparat, prosedur perijinan, penghilangan pungutan liar, tax hollyday, barangkali yang lebih perlu dilakukan pembenahannya. Bukan malah melempar kontroversi ketenagakerjaan yang mengagitasi demontrasi para pekerja yang mencapai ratusan ribu di seluruh tanah air. Walhasil, iklim investasi yang ingin dikondusifkan, malah menjadi “chaos” dan instabilitas akibat mobilisasi pekerja berdemonstrasi, kerugian jam produktif para pekerja, kerugian jam operasi berbagai industri yang pekerjanya berdemonstrasi. Saat ini, setelah sejauh ini, iklim investasi dipastikan meredup untuk waktu tidak kurang dari 6 bulan.
Bila saja pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden SBY, Wapres JK dan Menteri Nakertrans lebih calculated dan well predictive, maka adalah sebuah kesalahan melakukan revisi UU 13/2003 saat ini. Lebih lagi, ketika unsur-unsur lain dalam mengkondusifkan investasi yang lebih pokok belum disentuh. Seharusnya, yang menyangkut ketenagakerjaan bisa merupakan pembenaahan iklim investasi bagian terakhir. Upaya merevisi UU 13/2003 jelas menghabiskan energi sia-sia, malah energi negatif. Langkah mundur.
Seharusnya kita berkaca, mengapa pekerja kita banyak yang memilih menjadi TKI sekali pun ilegal, alih-alih bekerja di negeri sendiri. Mengapa juga para investor, di negara lain dimana TKI kita mengadu nasib, tetap berinvestasi dengan gaji pekerja yang tidak kecil.
Perlu diingat juga, bahwa tujuan utama pembangunan bangsa, termasuk pembukaan lapangan kerja melalui iklim investasi yang menarik dan kondusif, pada akhirnya adalah juga kesejahteraan rakyat, yang dalam hal ini pekerja. Bilamana kesejahteraan “relatif” tersebut dijauhkan pemerintah dari rakyatnya, maka rakyat telah menjadi varia di negara sendiri, dan investor (yang hanya sebagian kecil, atau malah warga asing) menjadi raja-raja kecil bagi rakyat Indonesia di negeri sendiri. (A01) (April 2006).

APBN/D Harus Sangkil dan Mangkus

Oleh : Dres. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Bulan-bulan ini merupakan momen penetapan APBD di berbagai daerah Provinsi maupun Ko-kab (Kota-Kabupaten). Setelah mendapat persetujuan Mendagri, Pemprov dapat mengetok palu menetapkan APBD 2006; dan setelah mendapat persetujuan Gubernur, Pemkot-Pemkab juga dapat mengetok palu penetapan APBD 2006 daerah otonom bersangkutan. Jauh sebelumnya, pada akhir tahun 2005 telah lebih dahulu ditetapkan GBHN 2006. Tahapan berikutnya adalan penggunaan anggaran baik berupa pengeluaran rutin, belanja aparatur, belanja barang, maupun belanja modal/proyek.
Penggunaan anggaran sebagai implementasi program pemerintah pada tahun anggaran berjalan yang terurai dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), maupun DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) cendrung ngambang dan “overlap” di sana-sini, sehingga dimungkinkan pemlesetan membuat segala sesuatunya kurang efektif. Selain itu, penyelesaian pekerjaan yang tidak tepat waktu, serta banyaknya pihak yang “mengambil jatah kue anggaran” tentu mengakibatkan inefisiensi. Telah menjadi rahasia umum bahwa “pengambil jatah kue anggaran” tersebar dari hulu ke hilir sesuai aliran realisasi anggaran, dan dalam akumulasi porsi yang tidak kecil.
Di sisi lain, “kemahiran” dan “kepiawaian” para pengguna anggaran dan panitia pengadaan yang bemain di garis luar koridor peraturan perundang-undangan (playing in outline of law) yang harus dirujuk seperti Keppres No. 80/2003, berkat pengalaman bertahun-tahun dari para aparatur memoroti uang negara, akan menggerogoti juga tingkat efisiensi penggunaan anggaran.
Dari sisi program, kalau mau menembak burung jangan gunakan meriam, tapi cukup dengan ketapel atau senapan angin; Jika mau membunuh tikus cukup dengan perangkap atau racun tikus, tidak perlu mendatangkan macan. Juga harus dicegah pengalokasian anggaran yang di-gol-kan secara “atas nama rakyat”, “atas nama kesejahteraan”, dan bayak hal lainnya padahal untuk tujuan mendistribusikan uang negara sedemikian rupa sehingga pihak-pihak tertentu bisa memperkaya diri.
Intinya, penggunaan anggaran bukan saja harus efektif (sangkil) bahwa “tujuan relatif tercapai”, tetapi juga efisien (mangkus) yang berarti “tujuan dicapai secara ekonomis”.
Di tengah era transparasi dan perlunya akuntabilitas publik, kiranya berbagai pola di dalam pengelolaan anggaran Negara/Daerah sangat perlu dicermati berbagai pihak, baik oleh Perencana (Pemerintah), Penyetuju (Legislatif), Pengelola Anggaran (Pemerintah), Pengawas (Badan Pengawasan Daerah, Inspektorat Jendral), dan Pemeriksa (Badan Pemeriksa Keuangan), maupun kalangan masyarakat.
Perdebatan soal volume atau besarnya dana yang ada bukanlah topik yang relevan di tengah minimnya dana yang ada. Fokus perhatian harus bergeser pada upaya bagaimana penggunaan anggaran yang sangkil dan mangkus. Bagaimana memaksimalisasi benefit, walaupun dana yang tersedia cukup minim. Hal ini perlu dipedomani pada setiap Satker (Satuan-Satuan Kerja) pengguna anggaran. Malah, seharusnya, Satker-Satker ini perlu transparan dan tunjuk hidung, pihak mana saja para “pengambil jatah kue anggaran” yang mengakibatkan kebocoran, inefisiensi dan inefektivitas yang terjadi.
Harus diakui, bahwa penghamburan uang negara yang tidak perlu, atau urgensinya kecil namun posinya cukup besar, banyak terjadi di sana-sini. Bahwa penggunaan anggaran perlu efektif dan efisien, sebagai wacana dan pidato-pidato dari para penyelenggara negara sangat banyak terdengar. Tidak kurang, Presiden, Menteri-menteri saat penyerahan DIPA di semua Provinsi, Gubernur dan Wagub Jawa Barat mempidatokan hal itu. Namun tidak demikian halnya bila ditilik dalam tataran implementasi. Bila hal-hal ini tidak juga disadari, kita hanya bermimpi tentang terwujudnya perbaikan ekonomi, rakyat yang sejahtera, atau negara yang adil makmur (A01). (Maret 2006)

PERTANGGUNGJAWABAN APBD 2005

Oleh : Bernard Simamora

Menurut pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa kepala daerah mempunyai kewajiban menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah (yang lebih tinggi), dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Pertanggungjwaban Kepada DPRD
Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kepala daerah menyampaikan Raperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Perlu digarisbawahi bahwa antara Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPJ) APBD sangatlah berbeda. LKPJ kepala daerah disampaikan kepada DPRD, dan dapat memuat keterangan mengenai realisasi program dan kegiatan yang telah disepakati dalam arah kebijakan umum APBD sampai akhir tahun anggaran. Sedangkan keterangan tentang realisasi atas pelaksanaan APBD disampaikan kepada DPRD setelah laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD diperiksa oleh BPK, kemudian ditetapkan sebagai Perda.
Pengelolaan keuangan negara/daerah berdasarkan tersedianya peraturan perundang-undangan yang ada sekarang membawa dampak tidak saja bagi penyelenggara negara namun juga bagi masyarakat. Sistem pengelolaan keuangan daerah yang selama ini telah berlangsung harus diubah dan diimplementasikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang baru.
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD berupa laporan keuangan menurut Undang-undang Nomor 17 tahun 2003, terdiri dari Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah. Pertanggungjawaban tersebut disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang mulai berlaku efektif untuk pelaporan tahun anggaran 2005.
Selanjutnya, dalam rangka pengawasan keuangan daerah, Perda tentang perhitungan APBD (Pertanggungjawaban Pelaksanaan), disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan kepada gubernur bagi kabupaten/kota paling lambat 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan menjadi Perda.
Secara formal, pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pelaksanaan dan realisasi APBD telah diatur berturut-turut kepada DPRD, BPK dan Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan oleh Gubernur bagi kabupaten/kota. Hal-hal tersebut diatur dengan perundang-undangan yang relatif memadai. Tetapi bagaimana pun, tanpa peran serta masyarakat secara lebih intens, prosedur-prosedur tersebut tetap rawan kebocoran, KKN atau memperkaya diri sendiri para pejabat negara.
Peran Serta Masyarakat
Dalam kaitan itu, Undang-undang No 28 Tahun 1999 pasal 8 ayat (1) menegaskan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih. Selain itu, pasal 9 ayat (1) menegaskan bahwa peran serta masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara; hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan peran serta tersebut.:
Maka berdasarkan pasal 8 ayat (1) Undang-undang No 28 Tahun 1999 dan pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, seharusnya LKPJ dan LPJ APBD tersosialisasikan dengan gamblang kepada publik/masyarakat. Dalam konteks pemerintahan daerah, bentuk dan cara bagaimana publik memperoleh informasi LKPJ dan LPJ APBD secara transparan melalui proaktivitas pemerintah tidak eksplisit diatur perundang-undangan di atas. Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki insiatif dalam memperoleh informasi laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Pasal (2) menegaskan bahwa setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum.
Akhirnya, DPRD, BPK dan pemerintah harus bersinergi dengan masyarakat dalam pengawasan atas pelaksanaan dan realisasi APBD. Sebab, berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, peran serta masyarakat dalam mengupayakan akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah, sudah mendapat tempat terhormat. (April 2006)
Bernard Simamora, pengamat sosial tinggal di Bandung.

KELANGKAAN BBM, PERTAMINA - PEMERINTAH BERMAIN CATUR

Oleh : Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA

Kelangkaan BBM (Bahan Bakar Minyak) tentu berdampak sangat buruk pada masyarakat luas. BBM sulit didapat maka harganya akan naik. Selanjutnya, ongkos-onngkos, dan harga-harga kebutuhan pokok segera akan naik juga – yang cenderung tidak turun ketika harga BBM kembali normal. Lebih parah, rumah tangga bisa kelaparan jika minyak tanah sebagai bahan bakar rumah tangga tidak dapat diperoleh.
Kebanyakan rakyat masih menggunakan kompor minyak tanah untuk menanak nasi. Artinya, tidak ada minyak tanah bisa-bisa kelaparan.
Tetapi, pertanyaan dalam benak rakyat pada umumnya adalah : Kok bisa-bisanya BBM langka di salah satu negara produsen minyak seperti Indonesia yang juga anggota OPEC?
Pemerintah dengan “pemerintah (Pertamina)” berpolemik sesamanya di tengah penderitaan rakyat yang kekurangan BBM;
“Untuk mengantisipasi kelangkaan BBM yang semakin luas, Pertamina meminta pemerintah segera mempercepat pencairan dana subsidi BBM. Permintaan ini disampaikan Pertamina dalam rapat kerja antara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral bersama DPR beberapa waktu lalu. Menurut Dirut Pertamina, kelangkaan BBM selama tiga pekan ini adalah rentetan akibat lambannya pencairan dana subsidi BBM oleh pemerintah ke Pertamina. Ia menambahkan, pencairan dana subsidi BBM bulan ini yang nilainya Rp 4,2 triliun terlambat dua hari dibayarkan pemerintah. Padahal, masih menurut Dirut Pertamina, untuk mencadangkan BBM diperlukan waktu dua pekan. Sementara stok BBM saat ini hanya mencukupi 17 hari ke depan. Untuk menormalkan cadangan BBM hingga 22 hari ke depan, Pertamina membutuhkan dana sekitar US$ 1,5 miliar “
Bagi Dirut Pertamina dan Menteri Keuangan, kelangkaan BBM adalah seputar masalah angka dan jadwal. Seputar pembayaran dana Subsidi, dan itu pun telambat hanya 2 hari yang terlambat dari pemerintah. Pertamina adalah perusahaan pemerintah. Apakah perusahaan sekaliber Pertamina tidak mempunyai Plan-B, Plan-C dan seterusnya sebagai antisipasi bila terjadi aral melintang seperti keterlambatan pembayaran Subsidi? Sederhananya, seperti apa sih Pertamina dikelola?
Mengapa pemerintah terlambat membayar? Memangnya ATM (Anjungan Tunai Mandiri) nya offline atau tutup? Memangnya mengelola keuangan negara hanya sesederhana itu? Bagaimana koordinasi di tingkat menteri (Menkeu, Meneg BUMN dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Dirut Pertamina ? Sepertinya hanya masalah prosedural saja, atau malah banyak tangan yang bermain di dalam pembayaran ke Pertamina. Untuk itu, sepantasnyalah kompetensi Menkeu Memeng BUMN, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Dirut Pertamina dikaji ulang.
Jangan sampai kekurangan sumber energi dan kelangkaan BBM digiring kepada pemahaman sempit yakni teknis belaka, yakni prosedural dan birokrasi. Bila memang kelangkaan BBM diakibatkan oleh menurunnya kemampuan dalam negeri dalam memproduksi minyak, mengapa pemerintah tidak mengakui saja. Rakyat jangan di-nina-bobo-kan seolah minyak masih banyak di perut bumi Indonesia pada hal sudah hampir habis. Para ahli menyakini bahwa pencairan dana subsidi BBM hanya menyelesaikan permasalahan jangka pendek.
Seharusnya pemerintah mengakui persoalan yang sebenarnya, sehingga semua pihak dapat diajak mencari dan menggunakan sumber energi alternatif yang saat ini baru 1 sampai 1,5 persen. Bukan sekedar ajakan menghemat penggunaan BBM yang baru-baru ini dilansir Wapres Jusuf Kalla.
Untuk menggunakan sumber energi alternatif tentu masih banyak tantangan yang akan dihadapi. Disini dibutuhkan kompetensi para menteri yang jauh lebih baik. Bila pada saat-saat ini para menteri masih menyumbangkan masalah kelangkaan BBM, bagaimana mungkin sanggup menyediakan sumber egergi alternatif? Bagaimana jika para menteri tersebut diganti saja (?). (Bandung, Juli 2005)

Kebakaran Hutan Lagi, Tupai Lebih Cerdas!

Oleh : Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA

Bencana datang lagi melanda negara kita. Api kembali dan lagi-lagi menggunduli hutan, yang menjadi salah satu kekayaan kita sebagai negara agraris. Tahun demi tahun terjadi dan terjadi lagi. Dan ketika bencana datang, saat itu pula kita kalang kabut mengatasinya. Lalu ditempuh langkah-langkah darurat untuk menanggulanginya. Biasa, rapat dulu!
Sebelum rapat, sebar undangan dulu setelah sebelumnya mendapat laporan, dan proses lapor melalui birokrasi yang panjang. Apa daya, sijago merah beraksi lebih cepat dari pada sijago manuver politik. Para pejabat yang berwenang justru sibuk menjelaskan langkah-langkah penanganan alih-alih memulai menangani. Sibuk talkshow, melayani pertanyaan, menanggapi protes dan diplomasi dari pada merumuskan langkah konkrit mengatasi yang sekarang, antisipasi, dan eliminasi bencara sejenis dimasa depan. Alhasil, jika kejadian yang sama terjadi lagi, ya begitu lagi! Yang namanya pengalaman menghadapi suatu masalah, praktis tidak berguna.
Pasalnya, kalau saja bencana itu baru pertama kali dihadapi, wajar penanganannya tidak atau belum begitu baik. Tapi, bagaimana bila kejadian sejenis rutin dialami setiap tahun, seperti demam berdarah, banjir, dan kebakaran hutan? Agaknya tupai lebih cerdas. Karena tupai tidak jatuh pada lompatan atau lobang yang sama.
Sekarang, kita dikagetkan lagi soal kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Kabut asap melanda negara tetangga kita, terutama Malaysia. Tingkat ketebalan polusi udara di Malaysia karena asap kini mencapai 500 EMI (electromagnetic interference). Bisa dibayangkan, kekagetan negara tersebut atas asap kiriman dari Indonesia. Mereka tidak tahu menahu soal kebakaran hutan dan lahan, tahu-tahu justru memperoleh asap. Bahkan para kepala dinas kehutanan, menteri MS Kaban termasuk Presiden turut sebagai pihak yang kaget. Heran.
Seharusnya Indonesia (baca: pemerintah) disamping malu kepada diri sendiri, malu pada rakyat Indonesia, juga malu karena masalah ini menimbulkan kesulitan bagi negara tetangga. Tahun lalu, tatkala kabut asap melanda Malaysia dan Singapura mengakibatkan berbagai aktivitas terganggu, seperti mengacaukan aktivitas di bandara dan pelabuhan. Tak heran kalau warga di sana menjadi berang, karena kesehatan mereka terancam.
Sekarang, kejadian serupa kembali terulang, asap melanda Malaysia. Walaupun, kejadian ini belum seburuk tahun 1997 dan 1998 yang menyebabkan kerugian 9 miliar dollar AS akibat kerusakan pertanian serta terhentinya transportasi dan turisme, tetapi tetap saja sangat disesalkan. Seakan-akan tidak ada upaya pemerintah untuk mengantisipasinya. Atau pemerintah tidak mengerti masalah, jadi boro-boro mengantisipasi.
Lucu juga, bahwa sampai saat ini 3 x 24 jam pemerintah belum menyimpulkan, apakah kebakaran hutan akibat ulah manusia atau terjadi secara alamiah. Begitu lamban. Apakah data tahun sebelumnya tidak ada? Apakah peramalan akan terjadinya bencana tersebut untuk tahun ini tidak ada?
Seharusnya sudah jelas bahwa hal ini akibat ulah manusia tentu dalam kebakaran hutan. Dan untuk itu berarti penegakan hukum bagi para pembakar hutan belum berjalan secara efektif, karena mereka tetap melakukan hal yang sama dari tahun ke tahun.
Penanggulangan bencana kebakaran hutan harus secepatnya dilakukan pemerintah agar kebakaran tidak semakin meluas, demikian pula hukum harus benar-benar diterapkan tanpa pandang bulu. Ke depan, pemerintah sudah semestinya menerapkan langkah-langkah terencana dan terpadu, melibatkan berbagai instansi untuk mengantisipasi bahkan mengeliminir kejadian serupa.
Tentu kita tidak senang dituding sebagai bangsa yang tidak pernah serius mengatasi kebakaran hutan yang setiap tahun terjadi, sehingga membuat aktivitas masyarakat terganggu dan selalu menuai protes negara tetangga. Kita juga tidak sudi ribuan hektar hutan terbakar setiap tahun.
Lebih jauh, siapa pun tidak senang dituding sebagai yang tidak pernah belajar dari pengalaman. Dari setiap bencana yang terjadi harus dipetik pelajaran berharga, agar sebisa mungkin ditiadakan, dicegah, diminimalisasi - dan bila terjadi juga, sudah dimiliki prosedur standar operasi tanggap sigap.
Kebakaran hutan yang kita alami sekarang bukan saja bahan pelajaran pencerdasan kita tentang kebakaran hutan, tetapi juga berbagai jenis bencana yang pernah melanda negara kita. Untuk kejadian (tidak selalu bencana) demam berdarah, flu burung, banjir, gempa, tsunami, longsor Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS), kecelakaan kereta api dan sebagainya, kita hendaknya memiliki prosedur standar operasi tanggap sigap yang teruji dan dikembangkan terus menerus.
Sehingga, dengan demikian, setiap komponen pemerintahan tidak bekerja secara serabutan ketika terjadi bencana. Presiden tidak perlu lagi mengeluarkan surat perintah penanggulangan bencana kebakaran hutan seperti saat ini. Sistem yang berjalan secara otomatis!
Tetapi bila pola penanganan kebakaran hutan serta bencana-bencana laindi masa depan masih seperti saat ini, maka betul adanya bahwa tupai lebih cerdas?!?! (Bandung, 15 Agustus 2005)

09 September 2006

Berikan Si Miskin Kesempatan Belajar

Oleh : Bernard Simamora, S.IP, MBA

PENDIDIKAN merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan pangan, sandang dan perumahan. Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan harus ditempatkan sebagai kebutuhan utama. Bila selama ini pendidikan dianggap sebagai kebutuhan sekunder, sekarang merupakan kebutuhan primer. Keluarga yang ingin maju, sebagai miniatur bangsa terkecil, harus rela mengurangi kualitas pemenuhan kebutuhan lain seperti perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan.
Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam menyejahterakan rakyatnya, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang kurang penting, kurang urgen, ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
Negeri ini telah 22 tahun mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 6 Tahun dan lebih dari 10 tahun melaksanakan Wajardikdas 9 Tahun. Maksudnya sangat baik. Memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk sekolah dengan biaya murah dan terjangkau masyarakat banyak. Malah, pendidikan dasar seharusnya digratiskan sebagai pemenuhan kebutuhan pendidikan mendasar bagi warga negara.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Sejak Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres-inpres selanjutnya, telah diupayakan memberikan pendidikan murah untuk anak bangsa. Puluhan ribu gedung sekolah dibangun dan puluhan ribu guru diangkat agar pemerataan kesempatan belajar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Wajardikdas 6 Tahun yang telah dicanangkan tahun 1984, gemanya makin hari makin melemah. Komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita menilai pendidikan tinggi itu mahal, SLTA mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar dan Taman Kanak-kanak pun mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan kurikuler, tetapi justru besarnya biaya untuk masuk sekolah. Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini tinggal slogan. Kenyataan, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi. Karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Bahkan di sekolah milik pemerintah (negeri) pun. Bagi orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Hampir semua yang namanya sekolah, swasta atau negeri, melakukan pungutan-pungutan. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan belajar. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang 61 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara –negara yang lain.
Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi. Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.
Di lain pihak akan terdapat keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini, yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya, kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi.
Adalah suatu kekeliruan yang telah dibuat bahwa wewenang pengelolaan pendidikan yang begitu luas diberikan kepada kabupaten dan kota. Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan tidak tahu benar akan tugasnya. Lebih-lebih fungsi pengawasan yang menjadi syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri-sendiri dengan melanggar ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.
Kedaan ini diperparah lagi, bahwa unsur pemerintah daerah disinyalir mendapat bagian dari pungutan-pungutan. Bahkan Dinas Pendidikan sendiri mengadakan pungutan-pungutan kepada pihak sekolah, yang memberatkan sekolah dan sekaligus akan memberatkan siswa. Demikian halnya dengan berbagai cara penggunaan anggaran pendidikan yang tidak efisien pada semua lini birokrasi yang menangani pendidikan. Terjadi tumpang tindih, kegiatan fiktif, mark up, dan lain sebagainya. Yang penting proyek. Hal ini semua, secara efek domino memperparah minimnya kesempatan belajar – melambungan angka putus sekolah. Artinya, disamping sedang melaksanakan proyek piduteun, juga sedang terlaksana proyek “pembiaran anak bangsa tetap bodoh” atau “pembodohan anak bangsa”. (A01) – (29 Juli 2006).
Bernard Simamora, pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung. E_mail: bmamora@plasa.com T.(022)70657510

ANGGOTA ORMAS = SUPERMAN?

Oleh : Bernard Simamora, S.IP, MBA
Menghirup udara reformasi, dimana negara memberi kebebasan berargumen dan menyuarakan aspirasinya, banyak bermunculan organisasi masyarakat yang semakin lantang menyuarakan apa yang dinilai mereka benar. Bahkan asal bunyi. Pertumbuhan ormas memang sangat pesat pascajatuhnya Orde Baru. Selama tahun 2000-2006, lebih dari 1.200 organisasi profesi, organisasi keagamaan, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendaftarkan diri ke Depdagri. Selain itu, banyak ormas yang tidak mendaftarkan diri ke Depdagri, lembaga yang pada masa Orde Baru menjadi alat kontrol utama kehidupan keormasan.
Kebebasan berorganisasi menjadi salah satu fenomena yang dramatis yang muncul bersamaan dengan bergulirnya gerakan reformasi 1998. Ormas mudah terbentuk, semudah ia menghilang. Setelah Soeharto jatuh, negara tak lagi mengatur kebebasan berorganisasi. Meskipun UU No 8/1985 belum dicabut, hingga kini pemerintah sepertinya kurang memiliki kekuatan untuk kembali melaksanakannya. Tiadanya pengaturan lain tentang keormasan menjadikan ormas dapat tumbuh subur dan melakukan aksi-aksinya secara bebas, bahhan ekstra bebas. Kekuatan massa menjadi kekuatan politik, bahkan kini politik identik dengan kekuatan massa.
Banyak kelompok sosial dan ormas yang berkembang menjadi kelompok penekan (pressure group) dan bermain dalam politik umum, kebijakan publik maupun sekedar memenuhi selera individual anggota ormas.
Demokratisasi di tengah melemahnya pemerintah, DPR yang belum aspiratif, dan penegakan hukum yang masih pandang bulu; menyuburkan iklim ormas menjadi sebuah organisasi extra government. Anggotanya cenderung merasa “superman”. Dalam situasi ini, ormas beserta kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya menjadi terlihat lebih dominan menguasai wacana publik daripada entitas negara.
Bilamana sebuah ormas terorganisir melalui kepemimpinan yang visoner dan nasionalisme yang baik, yang mendahulukan kepentingan umum di atas kepetingan pribadi atau anggotanya, ormas ini bisa memberikan sumbangsih yang memajukan bangsa. Tetapi bilamana sebuah ormas terorganisasi sebagai alat penekan untuk menggolkan kepentingan subjektif personil atau pimpinannya, maka kita telah melangkah mundur sebagai bangsa. Apalagi, bila anggota ormas, atas nama organisasi, secara perorangan atau kelompok kecil melakukan penekanan untuk memuaskan dirinya sendiri atau memaksakan seleranya, maka kita sudah kembali ke zaman bar-bar, zaman primitif!
Tegasnya, sepanjang organisasi masyarakat tersebut berjalan tidak melenceng dan tidak keluar dari batasan-batasan, baik etika maupun yuridis, maka keberadaan mereka sangatlah membantu dan mampu mewakili keinginan sebagian masyarakat. Tetapi jika ormas bertindak seolah menjurus kepada anakhisme atau premanisme, dalam segala bentuk dan skala aktivitasnya, dan pemerintah seperti diam saja, maka masyarakat seperti tidak terlindungi (tidak merdeka) di negaranya sendiri yang merdeka.
Beberapa bulan yang lalu, Presiden SBY mengatakan akan memberikan hukuman atau sanksi kepada ormas atau siapa pun yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Presiden akan menggunakan per-undang-undangan yang berlaku untuk menindak ormas-ormas yang anarkistis. Memang, berdasarkan undang-undang, organisasi massa bisa dibubarkan atau dibekukan jika memenuhi beberapa kriteria. Sejauh ini, pemerintah baru melakukan langkah wajib registrasi ulang ormas-ormas yang ada. Pelaksanaan belum sebesar gaungnya.
Kiranya UU No 8/1985 yang mengatur keormasan, terasa sudah kurang berimbang dengan makin beragamnya jenis dan kegiatan ormas saat ini, termasuk sejumlah tingkah polahnya. Kita memerlukan perundang-undangan yang lebih detail dan aktual.Walau memang, dalam kerangka hukum yang ada saat ini pun, Polisi dianggap belum menunjukkan langkah-langkah yang melegakan masyarakat. Mereka dianggap tidak tegas dalam menegakkan supremasi hukum atas premanisme.
Kiranya, di negara hukum seperti negeri ini, hukum dapat memayungi semua warga negara melalui perundang-undangan yang memadai, serta ditegakkan aparat negara. Sehingga tidak seorang warga negara pun memiliki kekuasaan lebih besar (super) dibanding/terhadap warga negara lainnya, sekali pun ia anggota ormas atau Presiden sekali pun. (14 Agustus 2006)
Bernard Simamora, pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung. E_mail: bmamora@plasa.com T.(022)70657510

Desentralisasi Ujian Nasional

oleh : Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Sekalipun tujuan pendidikan nasional sudah baik karena sesuai dengan amanat di dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi masih sulit ditemukan jawaban terhadap pertanyaan apakah itu sistem pendidikan nasional.
Proses pendidikan diharapkan menghasilkan para peserta didik yang cerdas secara total. Cerdas secara total mencakup aspek rasional (IQ), moral atau emosi (EQ), dan spiritual (SQ) yang ditopang oleh skill motorik yang memadai pada peserta didik.
Kecerdasan demikian harus dibangun di dalam diri peserta didik sebagai bagian dari pencerdasan bangsa yang diamanahkan oleh Pembukaan UUD 1945. Tujuan pendidikan nasional yang demikian adalah sebuah ideal filosofis sehingga tidak harus berubah dan harus dapat bertahan lama atau tidak mudah diubah.
Salah satu persoalan yang sangat mengganggu adalah ketertinggalan dalam kualitas pendidikan di daerah-daerah. Salah satu contoh, Kadisdik Jabar sendiri Dr. Dadang Dally, M.Si mengakui di Jawa Barat masih ditemukan 60% guru yang tidak kompeten mengajar. Belum lagi persoalan rasio jumlah pendidik dengan jumlah peserta didik, kurangnya fasilitas, sarana dan prasarana yang menyebabkan rendahnya mutu belajar-mengajar dan mutu lulusan.
Selain itu, di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, faktor kualitas kesejahteraan yang timpang antara pusat dan daerah menjadi salah satu penyebab utama rendahnya pendidikan di daerah. Bagaimana mungkin ada keluarga yang belum sejahtera dapat menyekolahkan anak-anaknya.
Berbagai biaya yang berkaitan dengan pendidikan sulit dipenuhi oleh keluarga yang belum sejahtera. Selama faktor-faktor penghambat ini tak dapat diatasi, selama itu pendidikan nasional tidak akan pernah menyentuh masyarakat nusantara secara sungguh-sungguh dan adil serta mengubahnya menjadi masyarakat yang cerdas.
Lalu, apa relevansinya sebuah ujian nasional yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara merata jika sistem pendidikan nasional masih jauh dari nilai keadilan? Apakah kebijakan mengeluarkan dana Ujian Nasional 2005 sebesar Rp 250 miliar tepat sebagai upaya meningkatkan atau memeratakan mutu pendidikan?
Kiranya yang diperlukan bukan soal dana dan proyek-proyek sejenis dana UN. Kita perlu lebih berani menempuh cara yang demokratis dan adil di dalam membangun sistem pendidikan nasional. Kita perlu desentralisasi sistem pendidikan. Sehingga tidak harus ada ujian yang tersentralisasi, melainkan terdesentralisasi. Hasil ujian dari proses pendidikan yang terdesentralisasi memang tidak langsung baik. Tetapi kita harus percaya bahwa secara alamiah hasil desentralisasi akan mengalami perbaikan.
Hal demikian dimungkinkan karena akan tercipta suasana kompetisi. Sistem pendidikan nasional (termasuk ujian nasional) yang terdesentralisasi sejajar pula dengan kebijakan otonomi daerah. Desentralisasi di dalam sistem pendidikan lambat laun akan menumbuhkan kualitas kemandirian daerah di dalam pengelolaan pendidikan di seluruh daerah nusantara dengan ragam jenis budayanya yang beraneka corak.
Sentralisasi ujian secara nasional, sepertinya, hanya akan menempatkan orang-orang di pusat sebagai penguasa yang juga ketambahan nafkah yang seharusnya menjadi hak orang-orang di daerah.
Kekuasaan dan uang (baca : proyek) mungkin berada di balik berbagai kebijakan yang ingin mempertahankan status quo dari sistem nasional yang terpusat. Hal demikian harus segera dihentikan. Jika tahun ini ini belum bisa, maka tahun depan ujian yang terpusat seharusnya dihentikan. Sebab upaya mencapai tujuan pendidikan nasional jauh lebih mulia dari pada sekadar soal dana, kekuasaan, atau intrik politik. (A1) (31 Mei 2005)

KERUGIAN MASSAL AKIBAT KEMACETAN LALU-LINTAS (2)

A predictible facts without solution
Oleh Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Kemacetan lalu-lintas di jalan raya terjadi karena ruas jalan sudah tidak mampu menampung luapan arus kendaraan yang datang secara lancar. Hal ini terjadi, juga karena pengaruh hambatan samping yang tinggi, sehingga mengakibatkan penyempitan ruas jalan, seperti: parkir di badan jalan, berjualan di trotoar dan badan jalan, pangkalan beca dan angkot, kegiatan sosial yang menggunakan badan jalan, berjalan di badan jalan dan menyeberang jalan. Selain itu, kemacetan juga sering terjadi akibat manajemen persimpangan yang kurang tepat, ditambah lagi tingginya aksesibilitas kegunaan lahan di sekitar sisi jalan tersebut.

Kemacetan lalu-lintas kerap menjadi topik seminar, dibicarakan, dikaji/diteliti oleh berbagai pakar, bahkan sering menjadi obrolan masyarakat berbagai golongan di berbagai tempat. Bagai anjing menggonggong kafilah berlalu; pelbagai seminar berakhir, penelitian terlaksana, dan pembicaraan tidak habis-habisnya mengenai kemacetan lalu-lintas, tetap saja implementasi kebijakan bagai panggang jauh dari api. Interseksi keduanya bagai air dan minyak.
Memang, kemacetan lalu-lintas di perkotaan tidak dapat dihindarkan, namun bukan tidak bisa diminimalkan. Seperti yang terjadi sekarang, setiap hari terjadi “pemandangan yang indah” atau “pameran barisan berbagai jenis kendaraan yang sedang antri” di setiap ruas jalan di kota-kota besar. Bagaimana sebenarnya arahan kebijakan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) yang ada?
Kemacetan lalu-lintas (congestion) di jalan raya terjadi karena ruas jalan tidak mampu menampung luapan arus kendaraan yang datang secara lancar. Hal ini terjadi, juga karena pengaruh hambatan/gangguan samping (side friction) yang tinggi, sehingga mengakibatkan penyempitan ruas jalan (bottleneck), seperti: parkir di badan jalan (on road parking), berjualan/pasar di trotoar dan badan jalan, pangkalan beca dan angkot, kegiatan sosial yang menggunakan badan jalan (pesta, dsb) dan pedestrian (berjalan di badan jalan dan menyeberang jalan). Selain itu, kemacetan juga sering terjadi akibat manajemen persimpangan (dengan atau tanpa lampu) yang kurang tepat, ditambah lagi tingginya aksesibilitas kegunaan lahan (land use) di sekitar sisi jalan tersebut.
Kemacetan lalu-lintas dan kecelakaan lalu-lintas yang cukup berbahaya juga sering terjadi akibat perilaku angkutan umum kota (angkot) yang sering nyelonong dan tiba-tiba berhenti di badan jalan untuk menaikkan/menurunkan penumpang dengan alasan “kejar setoran”. Demikian halnya dengan pengemudi mobil umum yang sering menguasai jalan, enggan rapat kiri - ogah rapat kanan, memutar arah sembarangan, dlsb. Ditambah lagi dengan ledakan sepeda motor yang begitu drastis pertambahannya akhir-akhir ini, yang sering zig-zag menyalib seolah tidak peduli bahaya. Khusus perilaku “full-freedom” kebanyakan pengendara sepeda motor memang menjadi salah satu kontributor terbesar kemacetan lalu-lintas akhir-akhir ini. Jadi, kemacetan lalu-lintas perkotaan terjadi bukan saja karena rasio perkembangan prasarana jalan dengan pertambahan kendaraan yang tidak seimbang. Tingkat kedisiplinan pengendara dan pengguna jalan yang kini makin rendah (sudah kurang santun), juga menjadi biang kemacetan.
Bila ditilik lebih jauh, variabel-variabel penyebab kemacetan lalu-lintas tersebut, tidak terjadi secara spontan sim salabim di luar pengetahuan yang berwenang. Tidak juga logis bila disebut anggaran tidak cukup. Pertama, bukankah pertambahan kendraan jenis apa pun tercatat dengan baik ketika di-On The Road (OTR)-kan? Pendapatan OTR semestinya berkaitan dengan pendanaan volume jalan, perawatannya serta untuk traffic management secara berbanding lurus. Kedua, perilaku umum dalam berlalu-lintas memang sangat dinamis dan mengarah kepada chaos; tetapi juga hal itu juga cukup kasat mata. Artinya, variabel-variabel biang kemacetan lalu-lintas dan relatif predictible.
Banyak pendapat diperlukannya grand design ulang, atau setidaknya reengineering RTRWK. Praktisnya, menurut saya, bagaimana meredistribusi volume jalan terhadap ruang dan waktu. Dengan demikian dapat diperoleh debit arus lalu lintas mencapai angka rata-rata sederhana feasible (sebagai fungsi ruang dan waktu). Beberapa contoh yang bisa dilakukan dalam kerangka ini : relokasi, reskeduling, ekspansi.
Sejumlah pabrik di Kota Bandung misalnya, sudah selayaknya direlokasi ke lahan baru. Tentu, lahan baru tersebut harus memenuhi syarat sesuai ketentuan, serta kelayakan pemukiman para pekerja yang jumlahnya ribuan ikut terboyong. Bila diperkirakan terdapat 50 pabrik dengan masing-masing 2.000 pekerja, maka 100 ribu tenaga kerja telah turut direlokasi. Kiranya masih banyak lahan di pinggiran Bandung yang memenuhi syarat sebagai peruntukkan industri. Bisa kita lihat titik-titik kemacetan terjadi di kawasan pabrik JL. Kiaracondong, JL.Sukarno Hatta, dan di berbagai lokasi pabrik pada jam masuk dan keluar pekerja. Mengapa dibiarkan demikian? Memang, sejumlah contsraint menghadang, misalnya keberatan pihak pekerja dan reinvestasi pengusaha, namun dengan relokasi bukan tidak ada benefit ekonomis bagi kedua belah pihak. Bila perlu, pemerintah dapat mendorong proses relokasi melalui berbagai insentif semacam tax holliday. Seattle menjadi kota bisnis di AS; Silicon Valley sebagai pusat industri semikonduktor; Hollywood sebagai pusat entertain; Las Vegas sebagai sentral judi dan hiburan; semua itu bukan kebetulan dan tidak terjadi secara alamiah. Semua adalah hasil rekayasa dan rekayasa ulang berkali-kali untuk kemudian diadaptasi semua pihak yang berpentingan.
Masih mengenai relokasi, negara kita sebenarnya berpengalaman dengan program transmigrasi, baik sebagai program pemerintah maupun swakarsa. Saatnya masyarakat umum scara swakarsa perlu merelokasi domisili untuk didekatkan dengan pusat kegiatan keluarga. Mengapa harus tinggal di daerah Bandung Utara padahal kegiatan anggota keluarga terkonsentrasi di Bandung Selatan? Boros waktu, tenaga dan biaya terbuang percuma di jalan. Konsep relokasi swakarsa sudah lama dan umum berlaku di negara maju. Bahkan, Bisnis Konsultan Relokasi (bisa dirangkap makelar properti) di AS berjalan dan profitable. Dasar pertimbangannya adalah efisiensi sumber daya pribadi dan keluarga, yang dapat dihitung dengan matematika sederhana.
Misalkan ada 4 anggota keluarga harus dua kali naik angkot ke tempat kegiatannya, misalnya bekerja dan bersekolah. Anggap sekali naik angkot butuh ongkos Rp 2.000,- dan 30 menit waktu sekali naik angkot, serta waktu tunggu 5 menit. Maka dalam 1 hari, keluarga ini menghabiskan ongkos Rp 32.000,-/hari atau sekitar Rp 11 juta/tahun. Setiap anggota keluarga menghabiskan waktu rata-rata 2,25 jam/hari di jalan, atau sekitar 2 bulan dalam 3 tahun berada di jalan. Praktis, waktu yang dihabiskan di jalan tak akan produktif.
Konsep reskeduling, sederhananya adalah bagaimana meredistribusi kegiatan masayarakat perkotaan secara agak merata dari pagi sampai malam. Misalnya, sejumlah sekolah mulai belajar jam 07.00, sedang sejumlah sekolah lain masuk jam 09.00. Kantor pemerintah misalnya buka pada jam 08.00, sedang kantor swasta dan pertokoan buka jam 10.00, dan sebagainya. Intinya, perlu diatur jadwal umum untuk menghindari kemacetan pada jam-jam tertentu.
Bagaimana pun pertumbuhan gradual (melebar ke pinggiran) kota tak terhindarkan. Untuk itu, kiranya jangan dibiarkan ekspansi tumbuh sporadis atas inisiatif swasta atau personal. Hal ini perlu untuk menghindari keputusan-keputusan yang berorientasi sempit dan jangka pendek dari para pengembang, mengalahkan kepentingan umum untuk jangka panjang. Pemerintah dapat memulai ekspasi melalui pembukaan infrastruktur baru di lingkar luar kota, misalnya jalan-jalan tembus yang layak. Hal ini akan diikuti oleh pengembang, masyarakat umum dan para pengusaha industri, atau sekolah. Apalagi disamping infrastruktur transportasi telah dipersiapkan, diberikan pula insentif tertentu untuk merangsang anino relokasi ke lingkar luar kota. Secara bertahap, pusat-pusat kegiatan yang hampir selalu mengarah ke pusat kota mengalir ke lingkar luar kota.
Memang cukup kontradiktif bila masih diberikan sejumlah ijin pembangunan mall dan pusat perbelanjaan pada ring pusat kota. Tidak dapat disangkal betapa macetnya lalu-lintas di daerah Bandung Timur akibat kehadiran Bandung Super Mall, betapa macetnya kitaran JL. Merdeka atas kehadiran BIP (Bandung Indah Plasa) dan BEC (Bandung Electronic Center), dan demikian halnya di sejumlah tempat lain. Cukuplah.
Kiranya harus disadari sebaik-baiknya bahwa persoalan kemacetan lalu-lintas yang dialami hampir semua warga kota dapat berakibat destruktif terhadap kehidupan bermasyarakat. Bila tidak terasa hasil upaya nyata dalam mengatasi persoalan ini, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan kepada pemerintahnya, bisa terjadi degradasi perilaku sosial yang tidak diinginkan, dan sangat jelas akan terjadi kemerosotan produktivitas dan kreativitas kolektif masayarat bangsa. (A01)
Bernard Simamora, pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung. E_mail: bmamora@plasa.com T.(022)70657510

Kerugian Massal Akibat Kemacetan Lalu-Lintas (1)

Oleh: Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA

“Dari sisi pengguna jalan atau masyarakat luas, kerugian dapat berupa pemborosan BBM, waktu dari para pekerja produktif yang hilang, penyusutan nilai ekonomis kendaraan lebih cepat, efek emisi gas buang, dan sebagainya. Kerugian lainnya, misalnya tentang berkurangnya produktivitas masyarakat secara kolektif, turunnya disiplin kerja, tidak tepat waktu, kerugian pulsa telepon, dan masih banyak lainnya”
Sejak diresmikan pada April 2005, sudah dua kali ruas Jalan Tol Cipularang amblas. Terakhir, beberapa waktu lalu, bahu jalan sepanjang 50 meter amblas pada kilometer 91 sedalam 3 meter. Akibat penurunan muka jalan tersebut, kendaraan harus menurunkan kecepatannya saat melintas bekas amblasan itu. Karena, dipastikan akan terjadi penyempitan jalan. Dan otomatis, antrian pun akan terjadi akibat kemacetan lalu-lintas. Kemacetan di Jalan Tol menjadi cukup sensitif di banding jalan biasa. Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena untuk menikmati fasilitas itu dibayar khusus.
Kemacetan lalu-litas sudah menjadi keseharian dan telah menjadi masalah besar di perkotaan, hampir di seluruh dunia. Hanya, di negara yang dikelola dengan baik, kemacetan dapat diprediksi–diantisipasi–lalu diminimalisir dengan memelihara rasio yang feasible antara volume jalan terhadap okupasinya, dan sebagainya. Disadari bahwa kemacetan lalu-lintas sedikit saja pun, akan menyita biaya tidak kecil. Apalagi kemacetan hingga berjam-jam. Dengan aljabar sederhana dan asumsi yang masuk akal seorang awam, memperkirakan kerugian massal akibat kemacetan lalu-lintas tidaklah sulit.
Dari sisi pengguna jalan atau masyarakat luas, kerugian dapat berupa pemborosan BBM, waktu dari para pekerja produktif yang hilang, penyusutan nilai ekonomis kendaraan lebih cepat, efek emisi gas buang, dan sebagainya. Kerugian lainnya, misalnya tentang berkurangnya produktivitas masyarakat secara kolektif, turunnya disiplin kerja, tidak tepat waktu, kerugian pulsa telepon, dan masih banyak lainnya.
Ambil perkiraan, terdapat 12.000 unit angkutan kota, 5.000 unit angkutan niaga, dan 8.000 unit mobil pribadi, serta 20.000 unit sepeda motor yang kesemuanya setiap hari mengitari Kota Bandung. Secara rata-rata, diandaikan setiap angkot mengalami kemacetan 2 jam/hari. Angkutan niaga rata-rata mengalami kemacetan 1 jam/hari, mobil pribadi mengalami rata-rata kemacetan 30 menit/hari, dan sepeda motor mengalami 15 menit kemacetan sehari. Selanjutnya, mari kita perkirakan tingkat konsumsi BBM dalam keadaan macet, diperkirakan rata-rata 2 liter/jam/mobil, 0,5 liter/jam/motor terbuang percuma. Maka, secara kasar, kemacetan lalu-lintas di Bandung setiap hari menelan BBM 60.000 liter atau sekitar Rp280 juta (Rp8,5 miliar/bulan). Sekali lagi, angka-angka ini berdasarkan asumsi kasar.
Selanjutnya, diperkirakan 4,7 juta jiwa masyarakat dengan segala profesinya menggeliatkan kehidupan di Bandung setiap harinya. Asumsikan 3,9 juta di antaranya menjalani aktivitas konsumtif seperti pelajar, mahasiswa, dan shopping; sedangkan 800.000 orang lagi melaksanakan aktivitas produktif dalam pengertian bekerja, berwiraswasta atau pegawai negeri. Bila secara rata-rata setiap pekerja mengalami kemacetan 1 jam/hari saja, maka kehilangan jam produktif (bagi keluarga menjadi penghasilan, bagi masyarakat bangsa menjadi produktivitas nasional) 800.000 jam produktif/hari, atau sekitar 1/8 (12,5%) dari total produktivitas masyarakat Bandung, (dianggap bahwa setiap pekerja produktif melakukan aktivitas 8 jam sehari).
Selanjutnya, bila pendapatan perkapita rata-rata pekerja dianggap sekitar UMK (Upah Minimum Kota) sebesar Rp1 juta, maka dari 800.000 pekerja secara kolektif kita kehilangan Rp 100miliar/bulan atau 3,3 miliar/hari.
Berdasarkan kedua variabel itu saja kesimpulan kasar dapat diambil, bahwa sekitar Rp108 miliar/bulan harga yang harus dibayar atas kemacetan Kota Bandung. Harga ini mucul dalam bentuk berkurangnya pendapatan keluarga, dan kecilnya produktivitas masyarakat secara langsung.
Uraian kuantitaif di sini bukanlah data aktual, dan tidak melalui penelitian khusus. Sejumlah asumsi diambil dan kesimpulan kasar ditarik hanya untuk mengambarkan betapa kasat matanya kemacetan lalu-lintas menggerogoti sumber daya kita, baik menyangkut ekonomi mikro keluarga, perekonomian masyarakat, tekanan psikologis dan sebagainya.
Tambahan pula, dinamika masyarakat kota telah meningkatkan kemacetan tidak lagi linier dan mengarah pada kuadratis terhadap waktu. Artinya, makin hari, kemacetan makin bertambah parah. Kiranya solusi temporer seperti pengaturan lalu-lintas oleh polisi lalu-lintas atau pihak departemen perhubungan, rekayasa jalur, bahkan mencicil membangun fly over, sepertinya hanya solusi temporer. Perlu konsep yang lebih komprehensif berjangka panjang, lintas sektoral, dan melibatkan semua pihak. (A.01)
Penulis: Pemerhati masalah sosial, tinggal di Bandung. E_mail: bmamora@plasa.com