11 September 2006

Demo Buruh dan Iklim Investasi

Oleh : Bernard Simamora
Demontrasi buruh justru tidak mencapai puncaknya pada hari buruh internasional, may day tanggal 1 Mei lalu. Demo memuncak dan menjurus anarkis esok harinya, yang mencoreng inti perjuangan buruh itu sendiri. Isu kini berbelok (atau dibelokkan) kepada ketidakmurnian perjuangan buruh, ditunggangi partai yang kalah Pemilu. Respon pemerintah justru dengan kacamata politik. Tidak mau disalahkan, dicarikan kambing hitam. Memang, teknik pengalihan perhatian menjadi keahlian khusus dari tim rezim saat ini.
Sungguh, sejak isu revisi UU 13/2003, respon buruh, respon pengusaha, pertemuan tripartit, serta statemen-statemen berikutnya dari para pejabat, penanganan aparat atas demo anarkis; bila diintegralkan satu sama lain justru menjauhkan panggang dari api. Arang hangus, besi tak ngumpul. Presiden SBY sendiri mengatakan bahwa UU 13/2003 dalam status Quo, sedang menurut Menaker UU 13/2003 tetap dikaji oleh 5 Universitas. Ungkapan Menaker ini diperkuat Wapres, bahwa UU 13/2003 tetap akan dikaji ulang, apa pun yang dilakukan buruh. Sebagaimana Tajuk Pelita Indonesia dua minggu lalu, hanyalah energi negatif merevisi UU 13/2003. Sia-sia, dan malah kerugian nasional dalam berbagai hal.
Skenario dari semua ini diawali dari niat pemerintah untuk membangun iklim investasi yang kondusif. Berhubung skenario tak lengkap, pemerintah tidak mampu memprediksi yang predictible, wrong (bad) calculated, wrong (bad) response, wrong follow up, buntutnya iklim investasi memburuk dibanding sebelum isu revisi UU 13/2003 dan menjauhkan investor dari negeri ini. Menperindag Fahmi Idris mengatakan, akibat dari demo buruh pada 1-2 Mei 2006 saja pendapatan industri yang hilang sekitar Rp 800 milyar. Mana yang kondusif?
Logika pemerintah terlalu sederhana. Pemerintah berkepentingan (dengan niat mengurangi pengangguran) berencana mengajukan revisi UU 13/2003 ke DPR. Dengan demikian, pertama, production cost jangka pendek dan jangka panjang bagi pengusaha diturunkan, margin laba tinggi, dan resiko minim. Kedua, dengan sistem ketenagakerjaan outsourcing sejumlah perusahaan outsourcing menjadi sah, dan lagi, pengusaha dimudahkan memperoleh tenaga kerja murah-meriah. Dengan itu, para pengusaha, khususnya dari luar negeri mabuk kepayang untuk menanam modal di bumi Indonesia. Harapannya.
Logika linier berikutnya dari pemerintah mudah ditebak, ibarat sinetron dengan produser Punjabi. Dengan masuknya investor akan menyerap lebih banyak tenaga kerja, serta pendapatan dari pajak terdongkrak. Diharapkan juga produk yang dihasilkan investor yang mabuk kepayang itu akan menjadi komoditas ekspor, sehingga mampu menghasilkan devisa. Semua itu bisa diklaim dengan sangat baik sebagai upaya menyejahterakan rakyat. Tambahan lagi, beberapa pejabat tinggi negara ini yang memang (mantan) saudagar, yang cenderung berparadigma entrepreneur, yang bagaimana pun, secara alamiah akan memandang buruh sebagai salah satu komponen produksi. Bedanya, buruh bernyawa sedang komponen produksi lain benda mati.
Sayangnya logika buruh tidak bisa disederhanakan sesederhana logika pemerintah. Pasalnya, bagi buruh ini soal perut, soal masa depan yang tidak pasti, soal tidak adanya daya beli, dan soal pengebirian harkat dan martabat sebagai kaum pekerja yang menghidupi bangsa ini langsung-tidak langsung lewat efek domino (multiplier effect). Sebut bahwa buruh murah akan memancing investor. Tetapi, bukan satu-satunya pancing. Debirokratisasi perijinan, one stop service, shot time delivery service, Tax Holliday, bebas pungutan liar (amplop, uang minum, rokok, jatah preman, dlsb) serta kombinasinya masih sangat realible untuk menarik investor. Heran, buruh dulu yang diobok-obok.
Khusus mengenai outsourcing, memang dilematis pada era global. Tenaga kerja (naker) yang bakal terserap perusahaan outsourcing pasti lebih sedikit karena sifatnya sharing ke beanyak perusahaan, sementara tenaga kerja yang masih menganggur cukup besar. Naker outsourcing juga akan menggerogoti pekerjaan buruh yang ada sekarang yang apabila akhirnya mengalami PHK, hak-haknya akan terkebiri seandainya UU 13/2003 jadi direvisi. Selanjutnya, hak-hak naker outsourcing (baik yang sebelumnya menganggur, maupun yang PHK lalu menjadi naker outsourcing) terkebiri juga seandainya UU 13/2003 jadi direvisi. Bagaimana pun, outsourcing menyakitkan bagi buruh.
Di sisi lain, sistem ketenagakerjaan outsourcing telah menjadi trend dalam era global, yang memang melicinkan pengusaha untuk meminimalkan biaya buruh, dan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor, khususnya investor multinasional. Masalahnya, mana yang harus didahulukan, mengorbankan buruh yang ada atau membuka lapangan kerja dulu seluas-luasnya? Bagaimana perhitungannya?. Bila lapangan kerja dibuka seluas-luasnya tetapi kehidupan buruh sehari-hari tetap tidak layak, dan tidak ada jaminan masa depannya, apa gunanya? Negara seharusnya memberi jaminan pada warganya untuk dapat hidup sejahtera.
Adalah kenyataan bahwa pemerintah sekarang ini bekerja tanpa arah yang jelas. Dalam pemerintahan Soeharto ada Repelita, ada PJPT, dan sebagainya. Pada saat Megawati menjadi presiden, ada Propenas. Pada pemerintahan sekarang, apa saja goal settingnya? Mana cetak birunya, khususnya dalam pembangunan ekonomi untuk memulihkan keterpurukan?. Menekan biaya buruh hanya satu dari ribuan komponen yang bisa diprogramkan untuk recovery ekonomi bangsa ini. Persoalannya, what the government can do? (A01) (Mei 2006)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ketika buruh dizalimi penguasa, partai mana yang "care", yang memberi perhatian pada mereka? Dimana Partai Buruh? dimana Partai Buruh Sosial Demokrat? Katanya Bernard Simamora juga Pengurus Partai Buruh?? Bener gak?